Friday, 15 February 2013

Logika Sebagai Basis Pemahaman Islam


Assalamu'alaikum Wr. Wb
Sahabat E-4 All semuanya semoga Allah senantiasa memberikan kita kelancaran, kesehatan dan kemudahan dalam melaksanakan segala aktivitas kita, amiennn

Pada kesempatan kali ini E-4 All akan seditik berbagi tentang sebuah Logika yang menjadi basis pemahaman Islam sebenernya artikel ini hasil karya sahabat E-4 All Abdul Munir Mulkhan dan kebetulan Artikel ini kutipan dari buku Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim (Yogyakarta: SI Press, 1993), hlm. 44-46.)

Tapi tidak ada salahnya kita berbagi ilmu, setidaknya bisa menjadi wawasan dan pengetahuan buat kita semuanya.

Sahabat E-4 All semuanya pengembangan kualitas potensial manusia dapat dihubungkan dengan fungsi akal yang dalam Al Qur’an dapat diketemukan di banyak tepat. Walaupun penyebutan kata akal sebagai kata benda tidak terdapat dalam Al Qur’an sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya “Akal dan Wahyu dalam Islam”, akan tetapi di berbagai tempat, banyak ayat menjelaskan agar manusia mempergunakan perangkat tersebut. Nasution selanjutnya menyatakan dalam Al Qur’an terdapat 49 ayat yang berkaitan dengan penggunaan akal dalam pengertian sebagai paham dan mengerti.

Di samping itu, amr penggunaan akal dalam Al Qur’an tersebut sering kali dinyatakan dengan lafadz ‘aqala, faqiha, dabbara, tafakkara, dan tadzakkara. Berbagai kata tersebut dapat dibangsakan ke dalam pengertian yang sejenis dengan paham dan mengerti di atas.

Prof. Dr. Nasution dalam buku yang sama selanjutnya mengatakan bahwa akal dalam pengertian Islam adalah suatu daya berpikir dalam jiwa manusia sebagaimana digambarkan dalam Al Qur’an yang memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitar. Berbeda dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia yaitu Tuhan.

Selanjutnya, Al Qur’an sering mempergunakan kata qalbu untuk menunjuk akal. Oleh karena itu pengertian akal menunjuk kepada seluruh kemampuan manusia untuk memahami. Dengan demikian termasuk di dalamnya, intuisi, ilham dan penghayatan.

Selain kata akal dan tafakkara, Al-Qur’an juga menggunakan kata faqiha untuk menunjuk suatu kualitas dan proses pemahaman manusia. Selanjutnya secara khusus kata tafakkara digunakan Allah antara lain dalam surat Ali ‘Imran ayat 8, 191dan 196.

Selain kata-kata di atas, Allah seringkali mempergunakan kata nadhara sebagai petunjuk alat memperoleh data yang merupakan bahan dasar pemikiran. Dengan demikian ilmu pengetahuan merupakan kunci sukses manusia secara duniawi maupun di hadapan Allah. Dalam Al Qur’an banyak istilah yang dipergunakan untuk menunjuk fungsi pengetahuan tersebut. Kata ilmu misalnya lebih dari 100 kali disebut dalam Al Qur’an.

Surat al Mujadilah, misalnya, ayat 11 dan al Fathir ayat 28 menunjukkan pentingnya ilmu bagi pengembangan hidup manusia, sehingga kualitasnya di atas makhuk lain termasuk di atas malaikat. Berdasarkan kualitas pengetahuan manusia tersebut Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepadanya.

Kecenderungan akaliah diatas telah mendorong Muhammad Ibn Zakaria Al Razi mempercayakan seluruhnya kepada akal dalam menjelajah pencarian kebenaran dan pemahaman wahyu. Lebih jauh, Ibnu Thufail melalui novelnya “Hayyi ibn Yaqdzan“ mengisahkan petualangan akal yang akhirnya bertemu dengan wahyu. Dalam kaitannya dengan fungsi dan posisi akal demikian Harun Nasution menyatakan bahwa kelengkapan Al Qur’an harus diartikan dalam kaitannya dengan kemungkinan bagi akal untuk membedah beberapa ketentuan umum wahyu tersebut.

Berdasarkan kecenderungan di atas, bahasan mengenai apa pun saja di bidang ilmu pengetahuan tidaklah lengkap jika tidak membahas mengenai akal. Bahasan mengenai akal dalam perkembangannya sebagian besar hanya menyinggung teoritisasi dan sistematisasi dari aktifititas akal. Logika dan juga metodologi adalah simbol dari aktifitas akal secara sistematis dan teoritis tersebut.

Apabila logika dibangun dalam kerangka sistem filsafat Yunani, maka seluruh ilmu pengetahuan yang dikembangkan berdasarkan tata-pikir logika haruslah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan demikian merupakan fungsi daripada logika tersebut. Oleh karena itu seluruh hasil atau produk penalaran terhadap Islam dan wahyu dengan mempergunakan tata pikir dan tata penalaran logika haruslah dipandang sebagai ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya. Dengan demikian hukum-hukum pengetahuan yang berlaku umum juga harus berlaku terhadap ilmu pengetahuan ke-Islam-an tersebut.

Penggunaan daya nalar dalam upaya memahami makna tersembunyi dari wahyu adalah merupakan bagian dari fungsi wahyu itu sendiri. Bahkan wahyu itu sendiri, setidaknya yang termaktub dalam kitab Al Qur’an memuat petunjuk yang berkaitan dengan –sebut saja– sistematisasi aktivititas akal. Di banyak tempat dalam Al Qur’an terdapat golongan untuk menggunakan daya nalar akal guna memahami dan mengerti maksud dan kandungan wahyu. Bahkan boleh jadi seluruh wahyu itu hanya mungkin berfungsi bagi kehidupan manusia jika manusia menggunakan akal secara terorganisir dan sistematis, atau –dalam bahasa yang dapat dikembangkan dari Imam Al Ghazali serta filsuf muslim klasik– sadar-diri.

Berdasarkan pertimbangan di atas pastilah Al Quran menyarankan suatu logikanya sendiri. Dalam hubungan ini adalah hal yang mungkin jika logika Yunani justru bersesuaian dengan logika wahyu dalam arti Al Qur’an sebagaimana disarankan oleh pandangan Ibnu Tufail, Al Razi dan Ibnu Rusyd serta beberapa lainnya. Hai ini lebih berarti jika ternyata hampir tidak ada filsuf Muslim atau bahkan ilmu pengetahuan keislamana yang bebas dari logika Yunani.

Posisi pemikiran Islam serta terutama hasilnya sebagai kegiatan dan karya ilmiah lebih diperkuat ketika seluruh pemikiran Islam dikembangkan dan dibangun di atas ilmu tata pikir yang dalam dunia Islam dikenal dengan “ilmu manthiq”. Manthiq, tidak lain hanyalah alih bahasa dari Logika-nya Aristoteles yang kemudian disebarluaskan dalam dunia pemikiran Islam oleh Al Farabi.

Kesimpulan di atas tidak saja karena prinsip pemikiran manthiq sama dan sebangun dengan logika, akan tetapi juga karena pengakuan secara jujur setiap penulis manthiq sebagai Arabisasi logika Aristoteles tersebut. Oleh karena itu tidaklah adil jika di satu sisi pemikiran Islam menolak metode pemikiran filsafat, sementara seluruh bangunan pemikiran Islam menjadikan logika (baca manthiq) sebagai dasar dari fondasinya.

Bagikan

Jangan lewatkan

Logika Sebagai Basis Pemahaman Islam
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.