Assalamu'alaikum Wr. Wb
Sahabat E-4 All semuanya
semoga Allah senantiasa memberikan kita kelancaran, kesehatan dan
kemudahan dalam melaksanakan segala aktivitas kita, amiennn
Pada
kesempatan kali ini E-4 All akan seditik berbagi tentang sebuah Logika
yang menjadi basis pemahaman Islam sebenernya artikel ini hasil karya
sahabat E-4 All Abdul Munir Mulkhan dan kebetulan Artikel
ini kutipan dari buku Abdul
Munir Mulkhan, Paradigma
Intelektual Muslim (Yogyakarta: SI Press, 1993), hlm. 44-46.)
Tapi tidak ada salahnya kita berbagi ilmu, setidaknya bisa menjadi wawasan dan pengetahuan buat kita semuanya.
Sahabat E-4 All semuanya pengembangan kualitas potensial manusia dapat dihubungkan dengan fungsi akal yang dalam Al Qur’an dapat diketemukan di banyak tepat. Walaupun penyebutan kata akal sebagai kata benda tidak terdapat dalam Al Qur’an sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya “Akal dan Wahyu dalam Islam”, akan tetapi di berbagai tempat, banyak ayat menjelaskan agar manusia mempergunakan perangkat tersebut. Nasution selanjutnya menyatakan dalam Al Qur’an terdapat 49 ayat yang berkaitan dengan penggunaan akal dalam pengertian sebagai paham dan mengerti.
Di
samping itu, amr penggunaan akal dalam Al Qur’an tersebut sering kali
dinyatakan dengan lafadz ‘aqala,
faqiha, dabbara, tafakkara, dan tadzakkara.
Berbagai kata tersebut dapat dibangsakan ke dalam pengertian yang sejenis
dengan paham dan mengerti di atas.
Prof. Dr. Nasution dalam buku yang sama selanjutnya
mengatakan bahwa akal dalam pengertian Islam adalah suatu daya berpikir dalam
jiwa manusia sebagaimana digambarkan dalam Al Qur’an yang memperoleh
pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitar. Berbeda dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari
luar diri manusia yaitu Tuhan.
Selanjutnya,
Al Qur’an sering mempergunakan kata qalbu untuk menunjuk akal. Oleh karena itu
pengertian akal menunjuk kepada seluruh kemampuan manusia untuk memahami.
Dengan demikian termasuk di dalamnya, intuisi, ilham dan penghayatan.
Selain
kata akal dan tafakkara, Al-Qur’an juga menggunakan kata faqiha untuk menunjuk
suatu kualitas dan proses pemahaman manusia. Selanjutnya secara khusus kata
tafakkara digunakan Allah antara lain dalam surat Ali ‘Imran ayat 8, 191dan
196.
Selain
kata-kata di atas, Allah seringkali mempergunakan kata nadhara sebagai petunjuk
alat memperoleh data yang merupakan bahan dasar pemikiran. Dengan demikian ilmu
pengetahuan merupakan kunci sukses manusia secara duniawi maupun di hadapan
Allah. Dalam Al Qur’an banyak istilah yang dipergunakan untuk menunjuk fungsi
pengetahuan tersebut. Kata ilmu misalnya lebih dari 100 kali disebut dalam Al
Qur’an.
Surat al
Mujadilah, misalnya, ayat 11 dan al Fathir ayat 28 menunjukkan pentingnya ilmu
bagi pengembangan hidup manusia, sehingga kualitasnya di atas makhuk lain
termasuk di atas malaikat. Berdasarkan kualitas pengetahuan manusia tersebut
Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepadanya.
Kecenderungan
akaliah diatas telah mendorong Muhammad Ibn Zakaria Al Razi mempercayakan
seluruhnya kepada akal dalam menjelajah pencarian kebenaran dan pemahaman
wahyu. Lebih jauh, Ibnu Thufail melalui novelnya “Hayyi ibn Yaqdzan“
mengisahkan petualangan akal yang akhirnya bertemu dengan wahyu. Dalam
kaitannya dengan fungsi dan posisi akal demikian Harun Nasution menyatakan
bahwa kelengkapan Al Qur’an harus diartikan dalam kaitannya dengan kemungkinan
bagi akal untuk membedah beberapa ketentuan umum wahyu tersebut.
Berdasarkan
kecenderungan di atas, bahasan mengenai apa pun saja di bidang ilmu pengetahuan
tidaklah lengkap jika tidak membahas mengenai akal. Bahasan mengenai akal dalam
perkembangannya sebagian besar hanya menyinggung teoritisasi dan sistematisasi
dari aktifititas akal. Logika dan juga metodologi adalah simbol dari aktifitas
akal secara sistematis dan teoritis tersebut.
Apabila logika dibangun dalam kerangka sistem filsafat
Yunani, maka seluruh ilmu pengetahuan yang dikembangkan berdasarkan tata-pikir
logika haruslah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan demikian merupakan fungsi
daripada logika tersebut. Oleh
karena itu seluruh hasil atau produk penalaran terhadap Islam dan wahyu dengan
mempergunakan tata pikir dan tata penalaran logika haruslah dipandang sebagai
ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya. Dengan demikian
hukum-hukum pengetahuan yang berlaku umum juga harus berlaku terhadap ilmu
pengetahuan ke-Islam-an tersebut.
Penggunaan
daya nalar dalam upaya memahami makna tersembunyi dari wahyu adalah merupakan
bagian dari fungsi wahyu itu sendiri. Bahkan wahyu itu sendiri, setidaknya yang
termaktub dalam kitab Al Qur’an memuat petunjuk yang berkaitan dengan –sebut
saja– sistematisasi aktivititas akal. Di banyak tempat dalam Al Qur’an terdapat
golongan untuk menggunakan daya nalar akal guna memahami dan mengerti maksud
dan kandungan wahyu. Bahkan boleh jadi seluruh wahyu itu hanya mungkin
berfungsi bagi kehidupan manusia jika manusia menggunakan akal secara
terorganisir dan sistematis, atau –dalam bahasa yang dapat dikembangkan dari
Imam Al Ghazali serta filsuf muslim klasik– sadar-diri.
Berdasarkan
pertimbangan di atas pastilah Al Quran menyarankan suatu logikanya sendiri.
Dalam hubungan ini adalah hal yang mungkin jika logika Yunani justru
bersesuaian dengan logika wahyu dalam arti Al Qur’an sebagaimana disarankan
oleh pandangan Ibnu Tufail, Al Razi dan Ibnu Rusyd serta beberapa lainnya. Hai
ini lebih berarti jika ternyata hampir tidak ada filsuf Muslim atau bahkan ilmu
pengetahuan keislamana yang bebas dari logika Yunani.
Posisi pemikiran Islam serta terutama hasilnya sebagai
kegiatan dan karya ilmiah lebih diperkuat ketika seluruh pemikiran Islam
dikembangkan dan dibangun di atas ilmu tata pikir yang dalam dunia Islam
dikenal dengan “ilmu manthiq”. Manthiq,
tidak lain hanyalah alih bahasa dari Logika-nya Aristoteles yang kemudian
disebarluaskan dalam dunia pemikiran Islam oleh Al Farabi.
Kesimpulan di atas tidak saja karena prinsip pemikiran
manthiq sama dan sebangun dengan logika, akan tetapi juga karena pengakuan
secara jujur setiap penulis manthiq sebagai Arabisasi logika Aristoteles
tersebut. Oleh
karena itu tidaklah adil jika di satu sisi pemikiran Islam menolak metode
pemikiran filsafat, sementara seluruh bangunan pemikiran Islam menjadikan
logika (baca manthiq) sebagai dasar dari fondasinya.
Bagikan
Logika Sebagai Basis Pemahaman Islam
4/
5
Oleh
Unknown