Friday, 18 January 2013

PENGARUH PEJALARAN AQIDAH AKHLAK TERHADAP SISWA

Assalamu'alaikum Sahabat E-4 ALL semuanya

Kali ini E-4 All akan berbagi tentang pengaruh pelajaran Aqidah Akhlak terhadap akhlak mereka sehari-hari semoga j bermanfaat ea.
 
Pendidikan adalah suatu proses individu, kehidupan sosial, pewarisan kebudayaan dan sebagai pusat perubahan sosial. Dalam prosesnya, pendidikan melibatkan pendidik yang dilaksanakan di berbagai lingkungan pendidikan. Berkenaan dengan hal itu, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa: "Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

Tujuan pendidikan tersebut di atas sangat relevan dengan kondisi bangsa sekarang ini. Salah satunya adalah masalah moralitas bangsa yaitu mengenai sistem nilai bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia (Burhanuddin, 1997: 3). Dengan tujuan mengembangkan peserta didik agar berakhlak mulia, menjadi suatu harapan untuk dapat bangkit dari kemerosotan akhlak dan lunturnya nilai-nilai keagamaan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (dalam Ali Saepullah, H. A, 1982: 29-30) bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin, karakter) pikiran dan tubuh anak.

Pendidikan dipandang juga sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi muda di masa mendatang. Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab serta mampu mengantisipasi masa depan. Sedangkan pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami merupakan pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu Al-Qur'an dan As Sunnah (Muhaimin, 2001: 29).

Bagi umat Islam mempersiapkan generasi penerus yang berkualitas dan bertanggung jawab merupakan suatu keharusan dengan melalui pendidikan sebagaimana finnan Allah SWT dalam Al Qur'an Surat An-Nisa ayat 9 yang berbunyi:
Artinya: "Dan hendaklah takut kepada Allah SWT orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah SWT dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar" (Depag, 2000: 116).

Pendidikan akidah akhlak merupakan salah satu pelajaran yang diberikan mulai tingkat SD/MI sampai perguruan tinggi dan merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari mata pelajaran lainnya. Oleh karena itu mata pelajaran akidah akhlak merupakan mata pelajaran yang menempati kedudukan yang sangat sentral dalam pembentukan kepribadian siswa yang memiliki kepribadian yang baik. Baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakatnya. Hal ini mengandung indikasi bahwa proses pengajaran dari materi pelajaran akidah akhlak tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan saja akan tetapi lebih dari itu merupakan transfer of value terhadap anaknya.

Menurut Zakiyah Daradjat (1996: 70-71), perkumpulan remaja sebagai lingkungan pendidikan memberikan peluang terhadap dorongan anak untuk mengembangkan diri atau ke arah berdiri sendiri. Salah satu upaya untuk mengembangkan budi pekerti dan karakter seseorang, maka diperlukan pengajaran akidah akhlak yang merupakan bagian dari pengajaran agama. Pengajaran akhlak meliputi nilai suatu perbuatan menurut ajaran agama dan berbagai hal yang langsung ikut mempengaruhi pembentukan sifat-sifat itu pada diri seseorang secara umum.
 
Secara umum ajaran agama telah menggambarkan contoh dan teladan baik dalam pelaksanaan akhlak, terutama tingkah laku yang diutus untuk membina dan menyempurnakan akhlak. Ajaran itu berisi materi pembentukan batin seseorang, sehingga melahirkan sifat-sifat baik dan terpuji yang dapat dilihat dari bentuk dan tingkah laku.

Dengan pengajaran akhlak akan terbentuk batin seseorang dan pembentukan itu dapat dilakukan dengan melatih dan membiasakan berbuat, mendorong, dan memberi sugesti agar mau dan senang berbuat, karena pada dasarnya seluruhnya nilai-nilai pengajaran agama bermuara pada nilai esensial yang berbentuk nilai pembersihan diri, nilai kesempurnaan akhlak dan nilai peningkatan taqwa kepada Allah SWT (Zakiyah Daradjat, 2001: 196).

Proses pendidikan di sekolah, merupakan kegiatan yang paling pokok, ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Dalam proses belajar mengajar, siswa akan dipengaruhi faktor yang berada dalam diri siswa maupun faktor di luar siswa. Adapun faktor yang ada di dalam diri siswa salah satunya adalah faktor minat, khususnya minat siswa dalam materi pelajaran akidah akhlak di sekolah mengandung indikasi terhadap suatu keberhasilan proses belajar mengajar dalam materi pelajaran akidah akhlak. Aspek afektif dalam pendidikan akidah akhlak salah satunya sikap atau perilaku yang dicerminkan dengan akhlak mereka sehari-hari. Tentunya dalam bentuk interaksi sosial mereka di masyarakat.

Oleh karena minat merupakan faktor keberhasilan tujuan pengajaran (Abu Ahmadi, 1991: 130). Maka minat akan membawa pengaruh terhadap akhlak mereka sehari-hari.

Minat sebagai salah satu aspek kepribadian individu perlu dikembangkan karena berhubungan dengan kesiapan mental individu yang mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar keberadaan atau eksistensi minat sangat diperlukan adanya tinggi atau rendahnya minat siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar akan senantiasa menentukan intensitas kegiatan belajar mengajar itu sendiri. Ketika proses belajar mengajar berlangsung siswa yang senang memperhatikan terhadap pelajaran yang diajarkan kata siswa tersebut akan berusaha melaksanakan apa yang telah diterimanya dengan sebaik mungkin. Seperti dikatakan oleh Usman Efendi (1989: 122), bahwa belajar dengan minat akan lebih baik daripada belajar tanpa minat.

Sesuai pendapat di atas, Eddy Soewadi Kartawidjaja (1987: 185), mengemukakan bahwa perasaan senang akan menimbulkan sikap positif dan akan menumbuhkan minat. Sebaliknya perasaan tidak senang akan menumbuhkan sikap negatif dan tidak menumbuhkan minat.

Seperti telah diuraikan bahwa minat merupakan salah satu faktor keberhasilan tujuan pengajaran. Sedangkan inti dari tujuan materi peiajaran aqidah akhlak terbinannya akhlakul karimah. Dari uraian di atas, mengandung pertanyaan sejauhmana minat siswa dalam belajar materi peiajaran aqidah akhlak akan mempengaruhi akhlak mereka sehari-hari. Untuk mengetahui keterkaitan minat siswa dalam belajar materi pelajaran aqidah akhlak dengan akhlak mereka sehari-hari, maka terlebih dahulu penulis menetapkan indikator-indikator masing-masing.

Menurut Slameto (1995: 180) mengungkapkan bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh". Sedang menurut Marimba (1987: 79), "Minat dibatasi sebagai kecenderungan jiwa kepada sesuatu, karena itu merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu, yang pada umumnya disertai dengan perasaan senang".

Suatu minat diekpresikan melalu suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa masyarakat lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Masyarakat yang memiliki minat terhadap subyek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subyek tersebut.

Dapat dipahami bahwa upaya mendorong orang lain, khususnya untuk mengikuti kegiatan belajar menjadi sangat penting. Dilihat dari subjeknya dalam dunia pendidikan, orang yang diberi tugas mendorong orang untuk belajar adalah orang tua, guru, dan orang dewasa pada umumnya. Kalau begitu posisi ketiga orang tersebut menjadi sangat penting untuk menumbuhkan kecenderungan anak agar mau melakukan kegiatan belajar.

Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari mufradnya khuluk, yang berarti "budi pekerti" (Rachmat Djatnika, 1996: 26). Hampir senada dengan pendapat Rachmat Djatnika di atas, Abu Ahmadi dan Noor Salimi (1994: 198) juga Hamzah Ya'qub (1996: 11) menyatakan bahwa akhlak secara bahasa diartikan sebagai perangai, tabiat, adat, atau sistem perilaku yang dibuat.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang mempunyai potensi yang dapat menjadikannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain membawa potensi yang baik, manusia juga diciptakan dengan membawa potensi negatif yang dapat menjadikan dirinya sama dengan binatang bahkan lebih rendah dari binatang.

Pembinaan akhlak merupakan tujuan terpenting dari pendidikan agama Islam. Rasul sendiri diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana beliau bersabda dalam Hadistnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yaitu:
 “Hanyalah saya diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari dan Muslim)

Salah satu fakta yang menyebabkan degradasi akhlak di kalangan remaja dan siswa didik dewasa ini adalah kurangnya pembinaan akhlak terhadap mereka. Hal ini mendorong para pendidik untuk secara intensif membina akhlak remaja baik di lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun di sekolah-sekolah umum, termasuk di lembaga pendidikan umum dan kejuruan.

Menurut Al-Ghazali yang pendapatnya dikutip oleh Hamzah Ya’kub (1993:91), “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu). Ibnu Maskawih yang dikutip oleh Abudin Nata (1997: 3) memberikan batasan akhlak dengan keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran.

Akhlak dalam tataran konsep praktis dalam kehidupan sehari-hari selalu dikaitkan dengan dengan etika. Kata yang cukup dekat dengan "etika" adalah "moral". Sebagian orang berpandangan bahwa moral merupakan tataran aplikasi dari akhlak seseorang. Kata terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama kali dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata "etika" sama dengan etimologi kata "moral", karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang pertama ber­asal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa Latin.

Sekarang kita kembali ke istilah "etika". Setelah mempelajari dulu asal-usulnya, sekarang kita berusaha menyimak artinya. Salah satu cara terbaik untuk mencari arti sebuah kata adalah melihat dalam kamus. Mengenai kata "etika" ada perbedaan yang mencolok, jika kita membandingkan apa yang dikatakan dalam kamus yang lama dengan kamus yang baru. Menurut Poerwadarminta (dalam K. Bertens, 2005: 5) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama "etika" dijelaskan sebagai: "ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)".

Etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti, yaitu:
  1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
  2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
  3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat (K. Bertens, 2005: 5).
Akhlak adalah perbuatan, tindak tanduk seseorang yang dilakukan dengan mudah tanpa banyak pertimbangan, dengan lancar tanpa merasa sulit ia lakukan. Sehingga perbuatan dan tindak tanduk yang dilakukan dengan terpaksa atua merasa berat untuk berbuat belumlah dikatakan akhlak (Oemar Bakry, 1993: 12). Orang yang baik akhlaknya ialah yang bersifat lapang dada, peramah, pandai bergaul, tidak menyakiti orang lain, lurus benar, tidak berdusta, sedikit berbicara banyak kerja, sabar (tabah) dalam perjuangan, tahu berterima kasih, dipercaya, tidak memfitnah, tidak dengki, baik dengan tetangga, kata-kata dan perbuatannya disenangi orang lain dan lain-lain sifat utama.

Akhlak merupakan pokok dari ajaran Islam di samping akidah dan syari’ah karena dengan akhlak akan terbina mental dan jiwa seseorang untuk memiliki hakikat kemanusiaan yang tinggi. Perbuatan yang baik maupun yang buruk merupakan manifestasi akhlak seseorang di mana tingkah laku seseorang dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek yang secara sadar maupun di luar kesadaran dapat membentuk pribadinya sehingga terwujud dalam suatu kebiasaan.

Kata akhlak berarti budi pekerti, dalam kehidupan sehari-hari budi pekerti memang mempunyai peran yang amat penting bagi manusia, baik bagi pribadi maupun orang lain. Jadi yang dimaksud akhlak di sini adalah perilaku/adab sopan santun siswa yang merupakan realisasi hasil proses belajar mengajar. Syariat Islam tidak dapat dihayati dan diamalkan kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan. Nabi telah mengajarkan untuk beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan dari pendidikan ini adalah membina insan paripurna yang taqarrub kepada Allah, bahagia di dunia dan di akhirat (Djamaluddin dan Abdullah Aly, 1998:15).

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa:
Akhlak adalah tingkah laku pada diri seseorang dan hal itu telah dilakukannya secara berulang-ulang serta terus-menerus. Kalau perbuatannya sesuai dengan ajaran Islam, maka dinamakan akhlak baik, sebaliknya kalau perbuatannya menyimpang dari ajaran Islam maka dinamakan akhlak buruk.

Bagikan

Jangan lewatkan

PENGARUH PEJALARAN AQIDAH AKHLAK TERHADAP SISWA
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.