Assalamu'alaikum Wr. Wb
Sahabat E-4 All semua Sejak runtuhnya khilafah Islamiyah tahun 1924
M., eksistensi politik dan hukum Islam telah lenyap dari kehidupan nyata kaum
muslimin di seluruh penjuru dunia. Bersamaan dengan itu, bergeraklah kekuatan
dari dalam dan luar, berskala lokal dan internasional; bekerja siang dan malam
tak kenal lelah untuk menjalankan misi iblisnya, menghancurkan ideologi Islam
dan menjauhkan kaum muslimin dari ajaran sucinya.
Tak bisa kita pungkiri, bahwa realitas umat Islam –pasca
runtuhnya khilafah- di banyak negeri sangat memilukan; menjadi objek sasaran
pengeroyokan para konspirator dari dalam dan luar. Pemerintah-pemerintah
sekuler di negeri Islam tak henti-hentinya membuat persekongkolan jahat untuk
memusuhi segala hal yang berbau pergerakan. Mereka bertindak represif terhadap
aktifis Islam, menyiksa, menculik, bahkan menghukum mati mereka. Kekuatan
sosialis, kapitalis, zionis, salibis, dan misionaris dunia berkonspirasi untuk
menguasai negeri-negeri Islam.
Karenanya, sering kita menjumpai ungkapan ataupun tulisan
bernada pesimis akan masa depan umat Islam. "Bagaimana mungkin, kaum
muslimin bisa meraih kemenangan dan memegang tampuk kekuasaan, sementara dalam
satu negeri terdapat banyak jamaah Islam yang masing-masing berbeda konsep dan
manhaj perjuangan". Sungguh sangat disayangkan ungkapan seperti mengalir
dari bibir-bibir mulia ulama Islam. Kita berprasangka baik, semoga itu
diteriakkannya demi membakar gelora semangat kaum muslimin untuk kembali
bangkit, dan menyadarkan bahwa kondisi umat Islam saat ini sedang dalam kondisi
sakit. Namun, disadari atau tidak, ungkapan-ungkapan seperti ini –jika tidak di
fahami dengan baik- sesungguhnya merupakan virus yang sangat berpotensi
mematahkan sebuah hamâsatu ash-shahwah (semangat kebangkitan). Padahal,
sesungguhnya umat Islam kini sangat memerlukan "taushiyah
tasyjî'iyyah", gemblengan semangat yang menjadikan mereka senantiasa
bergelora menegakkan kalimat Allah dan mengembalikan kejayaan Islam. Selalu
optimis dan yakin bahwa masa depan milik Islam. Bukan sekedar sebuah impian
bunga tidur di pagi hari, juga bukan tatapan kosong hayalan para pengangguran.
Sebaliknya ini adalah janji Allah kepada kita, bahwa bumi ini akan di wariskan
kepada hamba-hamba-Nya yang shalih. Inna NashraLlâhi Qarîb. Wa inna
wa'daLlâhi haq.
Kemenangan Itu Pasti
Banyak dalil-dalil syar'i menyebutkan bahwa kemenangan
bagi umat Islam pasti terwujud. Baca misalnya beberapa ayat berikut:
"Sesungguhnya kami akan menolong
rasul-rasul kami dan orang–orang yang beriman di dunia dan hari akhir" (Q.S.Ghâfir: 51). "Dan merupakan hak kami untuk
menolong orang-orang yang beriman" (Q.S. Ar-rûm: 47). "Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan
menolong dan meneguhkan kedudukanmu".(Q.S Muhammad: 7).
Rasulullah pun menegaskan kembali dalam sabdanya:
"Tidak datang kiamat hingga kaum
muslimin memerangi orang-orang Yahudi, sehingga orang Yahudi bersembunyi di
belakang batu dan pohon, lalu batu dan pohon itu berkata: Hai orang muslim, ini
orang Yahudi di belakangku, kemarilah bunuh dia, kecuali pohon Gharqad karena
ia termasuk pohon orang Yahudi".
Petikan beberapa ayat dari undang-undang tertinggi umat
Muhammad di atas sangat gamblang menerangkan bahwa para pembawa misi Ilahi itu
mendapat jaminan perlindungan dari Allah. Namun, sekilas akan terasa kontras
ketika kita mengaitkan dengan realita yang kita sebutkan di atas.
Sejarah telah banyak merekam kisah perjuangan para
pembawa panji kebaikan. Nabi Yahya as. dan Zakaria as. meninggal terbunuh.
Muhammad Saw. dan Isa as. amat kenyang dengan berbagai teror hingga upaya
pembunuhan. Nabi Ibrahim as. dijebloskan hidup-hidup ke dalam kobaran api. Dan
hampir seluruh anak Adam yang meniti rel ini akan berhadapan dengan kezhaliman.
Lalu, di manakah kemenangan yang di janjikan Allah itu?
Adalah mustahil kita mengatakan bahwa Allah tidak
konsisten dengan semua janji-janjiNya. Lantas, apa sebenarnya arti An-Nasr
wa At-Tamkîn dalam Al-Quran tersebut? Sekiranya kita menghayati nash-nash
kepastian kemenangan bagi umat Islam, niscaya kita akan melihat bahwa nash-nash
tersebut berkisar pada dua aspek utama: Pertama, bahwa pertolongan Allah
itu terikat dengan usaha kaum muslimin dalam menolong agama Allah. Kedua, memberikan kabar gembira akan datangnya
kemenangan dan kekuasaan di hari mendatang.
Memang benar, berbagai jamaah bermunculan, tak ada yang
membantahnya kecuali orang-orang yang sombong. Lantas, apa karena itu kita
harus berputus asa, kemudian memilih 'uzlah dan meninggalkan amal fi
sabilillah? Tentu saja sikap seperti ini tidak dibenarkan dengan beberapa
konsideran sebagai berikut:
Allah menyuruh kaum muslimin untuk berpegang teguh pada
tali Allah dan melarang berpecah belah (Ali Imran: 103). Tentu ada faktor yang
menyebabkan perselisihan dan perpecahan, maka kita harus menyingkirkan faktor
tersbut. Jika faktor itu terkait fikrah, maka seyogyanya para cendekia
dari setiap jamaah bisa duduk bersama untuk menyamakan dan menyatukan fikrah.
Jika hal itu tidak memungkinkan, sementara perbedaan (ikhtilâf) tersebut
tergolong ke dalam ijtihâd fiqhiyyah, maka hendaknya beramal dengan
perkara-perkara yang disepakati, dan bersikap toleran terhadap permasalahan
yang masih di perselisihkan itu. Namun jika perbedaan tersebut masuk ke dalam
wilayah akidah, maka kita kembalikan kepada kitab Allah dan RasulNya.
Jika faktor penyebab perselisihan itu adalah manhaj
(metodologi), maka seyogyanya para konseptor masing-masing jamaah berusaha
bertemu untuk saling memahami dalam satu kordinasi (tansîq baina al-jamâ'ât).
Setiap jamaah beramal pada wilayah stressing-nya tanpa harus menjatuhkan
yang lain. Yang penting ada kesepakatan antara semua pihak untuk mewujudkan
eksistensi politik Islam.
Sejarah Islam telah membuktikan bahwa pernah terjadi
perbedaan pandangan dalam masalah politik dan fiqh pada masa lalu antar umat
Islam, namun demikian persatuan mereka tetap terjaga. Merupakan bukti terbesar
bahwa tafâhum dan kejernihan hati bisa mewujudkan itu semua. Nabi pernah
mempersatukan 'Aus dan Khazraj, dua kabilah besar di Madinah yang sebelumnya
selalu bertikai. Sahabat Hasan bin Ali ra. rela melepaskan hak kekhilafahan
kepada sahabat besar Muawiyah bin Abi Sufyan demi menghindari timbulnya fitnah
perpecahan yang lebih besar, sehinga kaum muslimin di pemerintahan Bani Umayyah
kembali jaya dan kokoh.
Di
awal perjuangan Rasul, kita mengenal dua istilah peristiwa populer, yaitu ghazw
al-Badr wa ghazw al-Uhud. Dua nama ini adalah bagian dari deretan
peperangan yang mewarnai perjuangan kaum muslimin. Melalui dua medan peperangan
ini, seolah Allah SWT. ingin memberikan sebuah materi kuliah exstra yang amat
berharga kepada umat Muhammad akan hakikat sebuah kehidupan. Bahwa kehidupan di
dunia bukan berjalan dengan sendirinya atau rekayasa umat manusia. Di balik
semuanya ada Dzat Yang Maha Menentukan segala sesuatu.
Menurut analisa pakar militer termodern, seharusnya
perang Badr seharusnya berakhir dengan kemenangan kaum musyrikin Mekah. Analisa
ini sangat rasional, melihat jumlah, persiapan, dan persenjataan pasukan
musyrikin yang jaun lebih besar. Pasukan muslimin sejak awal tidak membayangkan
akan terlibat dalam peperangan dahsyat itu. namun, sutradara kehidupan dunia
tetaplah Allah SWT. Dia memiliki rencana mutlak untuk makhluknya yang bernama
manusia, bahkan malaikat pun tidak tahu. Pasukan muslimin mampu meraih fath
dan membuat musuh harus menerima kekalahan telak, dengan menanggung korban yang
tidak sedikit.
Berbeda dengan perang Uhud. Dalam perang ini pasukan
muslimin sudah di ambang kemenangan besar. Namun karena satu hal prinsipil yang
tidak dihiraukan oleh sebagian pasukan Islam, hingga meyebabkan mereka harus
menerima kekalahan pahit.
Apa rahasia di balik peristiwa Badr dan Uhud? Dari dua
peristiwa besar ini, kita sesungguhnya dapat menyerap sebuah SMS Ilahi sebagai
berikut: Allah berfirman:"Inna NashraLlâhi Qarîb, Wa inna wa'daLlâhi
Haq". Jaminan kemenangan yang dijanjikan oleh Allah terhadap hambanya
yang shalih itu pasti. Sah saja yayasan "Bait Az-zakât" ketika
membuka pendaftaran beasiswa menyertakan beberapa syarat yang harus di penuhi
sebelumnya. Seperti: tidak merokok, nilai minimal jayyid dll. Begitupun
dalam fiqh kemenangan, jika syarat-syarat kemenangan yang ditentukan Allah
telah dipenuhi oleh umat Islam, pasti kemenangan itu akan terwujud. Wallâhu a'lam
Bagikan
Kemenangan itu Pasti
4/
5
Oleh
Unknown