Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sampurasun baraya E-4 All Semuanya dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kata HALAL dan HARAM, dalam kesempatan ini E-4 ALL akan coba sedikit memberikan gambaran tentang pokok-pokok halal dan haram dalam kacamata ajaran Islam agar kita tidak memponis sembarangan mana yang Halal dan mana yang Haram. Langsung aja simak cekidot, hehehehehe
ASAL USUL HUKUM TIAP-TIAP SESUATU ADALAH MUBAH
Bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal
dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash
yang sah dan tegas dari syar’i. Kalau tidak ada nash yang sah –
misalnya karena ada sebahagian hadis lemah – atau tidak ada nash yang
tegas yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana hukum
asalnya, yaitu mubah.
Arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya
sangat sempit sekali dan arena halal malah sangat luas. Hal ini karena
nash-nash yang shahih dan tegas dalam hal haram, jumlahnya sangat minim sekali.
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka dia adalah halal;
dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia
diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari
Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.”
(HR. Hakim dan Bazzar)
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan
atas kamu.” (QS. Al-An’am 6:119)
Ayat ini umum, meliputi soal-soal makanan,
perbuatan, dll.
Berbeda dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak
ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu.
“Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang
tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara
ibadah yang timbul dari dirinya sendiri – apapun macamnya – adalah suatu
kesesatan yang harus ditolak.
Pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada
ketetapan Alalh dan Rasul). Karena itu ibadah tersebut tidak boleh
dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah.”
Maka kaedahnya: “Soal ibadah tidak boleh
dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat
tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah.”
HALAL DAN HARAM SEMATA-MATA ADALAH HAK ALLAH
Bukan pendeta, bukan raja yang berhak menentukan
halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan
menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia.
Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah
menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah.
Al-Qur’an telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastur dan pendeta untuk
menetap-kan halal dan haram :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan (juga mereka mem-pertuhankan) al-Masih putra Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan
selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutu-kan.” (QS. At-Taubah
9:31)
Memang mereka tidak menyembah (sujud) kepada pendeta dan pastur, tetapi apabila pendeta dan pastur itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastur itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.
Al-Qur’an telah mengecap juga kepada orang-orang
musyrik yang bernai mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah.
“Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang Rezeki yang Diturunkan
Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.”
Katakanlah, “Apakah Allah telah Memberikan Izin kepadamu (tentang ini) atau
kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS. Yunus 10:59)
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
keboho-ngan terhadap Alalh tiadalah beruntung.” (QS. An Nahl 16:116)
Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang
menetapkan hukum syara’ ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka dalam
kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, tidak suka berfatwa, satu sama lain
berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram
(meng-haramkan yang halal dan menghalalkan yang haram)
MENGHARAMKAN
YANG HALAL DAN MENGHALALKAN YANG HARAM SAMA DENGAN SYIRIK
Dalam
hadis Qudsi Allah berfirman, “Aku ciptakan hamba-hamba-Ku ini dengan sikap yang
lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku
halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku
dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (HR. Muslim)
Karena
itu Al-Qur’an menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab yang
berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang
baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkan-nya.
“Katakanlah,
“Siapakah yang mengharamkan Perhiasan dari Allah yang telah Dikeluarkan-Nya untuk
Hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?”
Katakanlah, “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami
Menjelaskan Ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah,
“Tuhan-ku hanya Mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(Mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Alalh tidak menurunkan
Hujah untuk itu dan (Mengha-ramkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui. ” (QS. Al-A’raf 7:32-33)
Di
Madinah sempat timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang
yang cenderung berlebih-lebihan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang
baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum)
untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah Halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah
tidak Menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah sebahagian rezeki
yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada
Allah zat yang kamu beriman dengan-Nya.” (QS. Al-Ma’idah 5:87-88)
MENGHARAMKAN
YANG HALAL AKAN BERAKIBAT TIMBULNYA KEJAHATAN DAN BAHAYA
Allah menentukan halal dan haram adalah justru ada
beberapa alasan yang ma’qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu
sendiri. Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik dan tidak akan
mengharam-kan sesuatu kecuali yang jelek.
Dengan demikian, mengharamkan sesuatu yang halal itu
dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah
haram.
SETIAP YANG
HALAL TIDAK MEMERLUKAN YANG HARAM
Islam
tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu ganti yang lebih
baik guna mengatasi kebutuhannya itu.
Allah
mengharamkan manusia untuk mengetahui nasib dengan membagi-bagikan daging pada
azlam, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah
mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia
berikan ganti dengan suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan
berjudi, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang
diperoleh dari berlomba memacu kuda, unta dan memanah. Allah mengharamkan
sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang
baik-baik, yang terbuat dari wool, kapuk dan cotton.
Allah
telah mengharamkan zina tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa
perkawinan yang halal. Allah mengharamkan minum minuman keras, tetapi di balik
itu Ia berikan ganti-nya berupa minuman yang lezat yang cukup berguna bagi
rohani dan jasmani. Dan begitu juga Allah telah mengharamkan semua macam
makanan yang tidak baik, tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya
berupa makanan-makanan yang baik.
“Allah hendak
Menerangkan (Hukum Syariat-Nya) kepadamu, dan Menunjukimu kepada Jalan-jalan
orang yang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) Menerima tobatmu.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan Allah hendak Menerima
tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa naffsunya bermaksud supaya kamu
berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak Memberikan Keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisaa’ 4:26-28)
APA SAJA YANG
MEMBAWA KEPADA YANG HARAM, ADALAH HARAM
Jika Islam telah mengharamkan sesuatu, maka sarana
dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah
haram. Dosa perbuatan haram tidak
terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi
daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia
baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan
keterlibatan-nya itu.
Semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat
haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.
BERSIASAT
TERHADAP HAL YANG HARAM, HUKUMNYA ADALAH HARAM
“Jangan kamu
berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal terhadap
larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling kecil.”
Misalnya
orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu, kemudian mereka bersiasat
untuk melanggar larangan ini dengan menggali, sebuah parit pada hari Jum’at
supaya pada hari Sabtunya ikan-ikan bisa masuk ke dalam parit tersebut dan akan
diambilnya nanti pada hari Ahad. Cara seperti ini dipandang halal oleh
orang-orang yang memang bersiasat untuk melanggar larangan itu, tetapi oleh
ahli-ahli fiqih dipandangnya suatu perbuatan haram, karena motifnya
justru untuk berburu baik dengan jalan bersiasat maupun cara langsung.
Termasuk bersiasat yaitu menamakan sesuatu yang
haram dengan nama lain, dan merubah bentuk, padahal intinya itu juga.
“Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang menganggap halal
minum arak dengan memberikan nama lain.” (HR. Ahmad)
“Akan datang suatu masa di mana manusia menganggap halal riba dengan
nama jual-beli.”
NIAT BAIK
TIDAK DAPAT MELEPASKAN YANG HARAM
Niat
yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbakti dan taqarrub
kepada Allah. Adapun masalah haram
tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu.
Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci
juga. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan.
“Barangsiapa mengumpulkan uang dari jalan yang haram kemudian dia
sedekahkan harta itu, sama sekali dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan
dosanya akan menimpa dia.” (HR. Ibnu khuzaimah, Ibnu Hubban dan Hakim)
“Tidak seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan keka-yaan dengan
jalan haram kemudian ia sedekahkan, bahwa sedekahnya itu akan diterima; dan
kalau dia infaqkan tidak juga beroleh barakah; dan tidak pula ia tinggalkan di
belakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan dia itu sebagai
perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapuskan kejahatan
dengan kejahatan, tetapi kejahatan dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan.”
(HR. Ahmad)
MENJAUHKAN
DIRI DARI SYUBHAT KARENA TAKUT TERLIBAT DALAM HARAM
Syubhat adalah suatu persoalan yang tidak begitu
jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi mungkin
karena tidak jelasnya dalil dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk
menterapkan dalil yang ada terhadap suatu persitiwa. Terhadap
persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut Wara’ (suatu
sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Di mana dengan sifat itu
seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih
syubhat, sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada
yang haram.
“Yang halal
itu telah nyata, yang haram juga telah nyata dan diantara keduanya ada hal-hal
yang syubhat yang kebanya-kan manusia tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa
yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat itu, berarti ia telah membersihkan
Din-nya dan kehormatannya. Barangsiapa yang melakukan hal-hal yang syubhat itu,
sungguh ia telah melaksanakan yang haram. Seperti seorang gembala yang menggembala di sekitar
pagar, hampir saja ia menggembala di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja ada pagarnya. Dan pagar
Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa didalam jasad ada
sekerat daging, jika ia baik, baiklah jasadnya seluruhnya; jika ia rusak,
rusaklah jasad selurunya. Ketahuilah
bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
SESUATU YANG
HARAM BERLAKU UNTUK SEMUA ORANG
Tidak
ada sesuatu yang diharamkan untuk sekelompok orang tetapi dihalalkan untuk
sekelompok yang lain. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan
undang-undang-Nya berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apa saja yang diharamkan, haram juga untuk
seluruh manusia.
Misalnya mencuri. Hukumnya adalah haram, baik si
pelakunya itu muslim atau bukan. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri.
“Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri,
pasti akan kupotong tangannya.” (HR. Bukhari)
Pernah juga terjadi suatu anggapan dalam agama
Yahudi bahwa riba itu hanya haram untuk seorang Yahudi jika berhutang kepada
orang Yahudi yang lain. Tetapi berhutang kepada orang lain Yahudi tidaklah
terlarang.
“Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercaya-kan
kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada
orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikan-nya
kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran
mereka mengataka, “Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi.” Mereka
berkata dusta terhadap Alalh, padahal mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran 3:75)
KEADAAN
TERPAKSA MEMBOLEHKAN YANG TERLARANG
Seorang
muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenan-kan melakukan yang haram
karena dorongan keadaan dan sekedar menja-ga diri dari kebinasaan.
“Maka
barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati
batas, maka tidaklah berdosa baginya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun
dan Maha Belas-kasih.” (al-Baqarah 2:173)
Tetapi
tetap ada pembatasan terhadap si pelakunya yaitu dengan kata-kata tidak sengaja
(tidak sengaja untuk mencari kelezatan) dan tidak melewati batas.
Dari
ikatan ini para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yaitu manusia
sekalipun boleh tunduk kepada keadaan dharurat, tetapi dia tidak boleh menyerah
begitu saja kepada keadaan tersebut dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada
keadaan darurat itu dengan kendali nafsunya. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan
terus berusaha mencarinya.
“Allah Menghendaki Kemudahan bagimu, dan tidak Menghen-daki Kesukaran
bagimu.” (QS. Al Baqarah 2:185)
Maraji’
Yusuf
Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam
Bagikan
POKOK-POKOK HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM
4/
5
Oleh
Unknown